Berceloteh bersama senyap,
”Kunyalakan kembali aksara-aksara itu, yang kini bersembunyi dalam hardisk komputerku. Saat ini, malam adalah perihku! Angin pertanda dukaku, sementara keyboard dan monitor wujud dari kekosonganku, dan kasihku tinggallah lembar demi lembar kertas printer berserakan. Kuketik lagi puisi-puisi tak berujung. Susah…!!!! Aku penyair yang kehilangan kata, tak mampu lagi berkhayal wujudkan karya.” [-Breshifa Panuju Ame-]
Hingga q menulis ini, sudah berlalu 24 angka dari hitungan 2 bulan tersebut, 6 hari lagi genap memasuki bulan ke tiga dan rasa yang dia tanam di hati q telah tumbuh ibarat pepohonan rindang, mendengar tawa nya yang lepas dan hangat kasih yang dia siramkan pada q dtiap malam malam itu menyuburkannya. Tanpa sengaja q sering membuat dia kecewa, dengan menganggu jam jam istirahatnya pun jam jam sibuknya dengan kekhawatiran q, dengan membuat dia menunggu q yang seringkali tertidur depan letop ketika sedang menunggunya, dengan pertanyaan pertanyaan q yang selalu sama, dengan ucap q yang sering terucap begitu saja dan nda berkenan dihatinya, dengan segala ketakutan q. Namun dia adalah bahagia q, sungguh dia adalah bahagia q.
Aq mencarinya, ketika q nda mampu lagi meraihnya melalui pesan pesan singkat yang q kirim dr media apapun yang mungkin. Aq mencarinya, pada tiap detik waktu yang q punya, pada tiap desiran angin yang menerpa kulit, pada tiap rintik dan derai hujan yang berlalu, pun q mencarinya di balik mendung yang menutupi bintang2, di balik mimpi2 indah yang selalu qt rajut bersama dengan malam, di balik setiap nama zulfiardi ataupun papa givaldi tertera, entah di yahoo, gmail, blogger, pun nokia q yg masih monokrom dan monophonik itu, masih q mencarinya di dalam hati yang terinfeksi racun ragu, di dalam ruang rindu yang menusuk perih, di dalam kubangan ego serta timbunan timbunan asa yang entah.
Aq disini, selalu menunggu dia hadir, dalam bentuk apapun yang mungkin, tulisan, suara, meski tiada tampak wujudnya. Menunggu ponsel q berdengung menampakkan nama dia tercantum pada pesan singkat atau panggilan, menunggu id id yang mewakili dia di barisan messenger yahoo, ef be atau yang lain. Menunggu malam, dimana qt dapat kembali dalam senda gurau dan tangis bersama, menguntai setiap bintang bintang menjadi istana. Menunggu dari detik ke detik selanjutnya, berharap dia hadir dalam berangkat lelap q dan bangun q. Aq selalu menunggunya, diantara kesibukan hari hari nya, diantara letihnya, diantara percikan percikan rindu nya, diantara segala hal mengenai dirinya, q akan tetap menunggunya, meski disini, jauh..
Ruangan q senyap, dingin, gelap, dan diluar hujan. Terasa lembab. Raga q sendiri, pun dia disana. Ribuan aral rintang membatas diantara qt berdua. Q pejamkan mata mencoba menembus segala batas yang ada, menusuk ruang dan mengambil jalan pintas tercepat menuju pada dia. Q melihat dia dalam lelapnya. Dada q berdegub kencang, dug dug dug sangat kencang. Begitu besar rasa q untuknya. Q ulur tangan ingin menyentuhnya, ahh, aq tak bisa, aq hanya serupa bayangan, partikel ringan seperti udara. Dalam diam q memohon agar Tuhan selalu menjaga dia, memberikan segala sesuatu yang baik bagi dia beserta segala kemudahan dalam dia menghadapi liku hidupnya disana, yang sedang jauh dengan q. Lelaki ini, yang memiliki hati q, dengan caranya yang entah, q pasrahkan masa q untuk dia, atas nama cinta, atas nama hati. Lelap nya begitu teduh dan tenang, hingga menerbitkan segenap ingin q berada di dalamnya, selamanya.
Tersentak & terhentak aq oleh suara petir menggelegar, memecah sunyi dan silau menyerta. Syuuut !!! ada yang menarik q menjauh, kembali terseret menembus ruang, Awww !!! q mengaduh, sakit karena terenggut begitu tiba tiba dari lelaki q, sakit karena dipaksa melalui terjal-curamnya batas ruang kembali ke tempat q berada. Pelan sekali q membuka mata, gelap, dingin, senyap, dan diluar hujan. Masih depan monitor letop q yang lamat sekali melantunkan Maher Zein – For The Rest Of My Life. Bukan mimpi, hanya imaji, pelarian rindu q menuju pada yang terkasih.